Pemerintah Pastikan Libatkan Publik Dalam Pembahasan RUU KUHAP

Oleh Ardiansyah Prasetya Wibawa )*

Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kini memasuki babak penting dalam sejarah pembaruan sistem hukum nasional. Pemerintah, melalui penandatanganan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh sejumlah pejabat tinggi negara seperti Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Ketua Mahkamah Agung Sunarto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Wamensesneg Bambang Eko Suharyanto, menegaskan komitmen untuk melibatkan publik dalam proses pembahasan RUU KUHAP secara terbuka dan inklusif. Momentum ini tidak hanya menandai dimulainya reformasi hukum acara pidana Indonesia, tetapi juga menggambarkan langkah strategis untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adaptif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Sudah lebih dari empat dekade KUHAP menjadi tulang punggung hukum acara pidana di Indonesia. KUHAP lahir untuk menggantikan Herzien Inlandsch Reglement (HIR), produk hukum kolonial yang sudah tidak relevan dengan semangat kemerdekaan dan demokrasi. Namun seiring waktu, KUHAP itu sendiri mengalami keterbatasan dalam menjawab tantangan hukum modern. Perkembangan teknologi, dinamika masyarakat, serta perubahan struktur ketatanegaraan menuntut pembaruan yang menyeluruh terhadap sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, reformasi hukum melalui RUU KUHAP merupakan keharusan, bukan sekadar pilihan.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan bahwa penyusunan RUU KUHAP merupakan respons terhadap kebutuhan hukum yang lebih responsif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Penandatanganan DIM menjadi puncak dari upaya kolaboratif lintas sektor dalam merancang sistem hukum acara pidana yang lebih adil dan efisien. Upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bekerja secara tertutup, melainkan dengan melibatkan lembaga penegak hukum, akademisi, dan masyarakat dalam menyusun substansi perubahan hukum tersebut.

Salah satu aspek penting dalam pembaruan ini adalah komitmen pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik. Proses legislasi yang inklusif menjadi kunci agar hasil akhir dari RUU KUHAP benar-benar mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, DPR RI sebagai mitra legislatif pemerintah turut menjanjikan bahwa pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan secara terbuka. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa masyarakat akan diberi akses terhadap perkembangan pembahasan melalui laman daring serta forum-forum konsultasi publik, sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat terjaga.

Jaksa Agung ST Burhanuddin turut menekankan pentingnya prinsip “check and balances” dalam pembentukan sistem peradilan pidana yang sehat. Keseimbangan antara lembaga penegak hukum – mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan – menjadi krusial untuk memastikan tidak terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Hal ini juga menjadi jaminan bahwa proses hukum tidak hanya mengejar kepastian hukum semata, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan substantif dan perlindungan hak warga negara.

RUU KUHAP nantinya diharapkan menjadi pondasi pelaksanaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Keduanya harus berjalan selaras agar sistem hukum pidana nasional tidak pincang. Dalam konteks ini, pembaruan KUHAP bukan sekadar mengganti pasal demi pasal, melainkan menyusun ulang paradigma penegakan hukum yang lebih manusiawi, profesional, dan berorientasi pada pemulihan keadilan.

Ketua Mahkamah Agung Sunarto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga turut mengambil peran strategis dalam memastikan integrasi sistem peradilan yang solid. Dengan adanya sinergi antar-lembaga penegak hukum dalam proses legislasi ini, pembaruan KUHAP menjadi lebih holistik dan implementatif. Tidak hanya aspek normatif yang diperhatikan, tetapi juga efektivitas penerapannya di lapangan, mulai dari tingkat penyidikan hingga eksekusi putusan pengadilan.

Lebih jauh lagi, reformasi hukum acara pidana ini menjadi bagian dari agenda besar penegakan supremasi hukum di Indonesia. Pemerintah menunjukkan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, hukum tidak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi juga pelindung hak-hak warga negara. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU KUHAP bukanlah formalitas belaka, melainkan bentuk pengakuan atas peran rakyat dalam pembentukan hukum nasional.

RUU KUHAP harus menjadi dokumen hukum yang hidup, yang mampu menjawab tantangan zaman dan berpihak kepada keadilan sosial. Tidak boleh ada lagi ruang bagi kriminalisasi, penyalahgunaan wewenang, atau praktik hukum yang mencederai prinsip-prinsip HAM. Dalam konteks ini, pelibatan masyarakat sipil, organisasi profesi hukum, dan akademisi menjadi sangat penting untuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif.

Dengan melibatkan publik secara aktif, pemerintah tidak hanya mewujudkan transparansi, tetapi juga memperkuat legitimasi hukum itu sendiri. Sebuah produk hukum yang dibentuk melalui proses partisipatif akan lebih dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat, karena mereka merasa memiliki bagian dalam pembentukannya.

Pada akhirnya, pembaruan KUHAP bukan sekadar persoalan teknis hukum, tetapi merupakan bagian dari perjalanan panjang bangsa dalam membangun keadaban hukum. Langkah pemerintah dalam membuka partisipasi publik patut diapresiasi sebagai wujud dari reformasi hukum yang inklusif dan demokratis. Harapannya, RUU KUHAP benar-benar menjadi instrumen keadilan yang tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga nyata dalam pelaksanaannya di lapangan.

)* penulis merupakan pengamat kebijakan hukum publik

More From Author

Pemerintah Tegaskan Komitmen Reformasi KUHAP untuk Perlindungan HAM

RUU KUHAP Tegaskan Perlindungan bagi Justice Collaborator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *